JAKARTA, SELASA — Bila tidak ada keberatan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah Indonesia akan segera meratifikasi Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten. Rapat kerja teknis persiapan akan dibahas Rabu (4/2) bersama departemen.
Secara politik, ratifikasi menegaskan komitmen memperkuat kerja sama regional dan multilateral pengelolaan polutan organik yang persisten (POPs). Secara ekonomi, ratifikasi meningkatkan keberterimaan dunia akan produk Indonesia karena ramah lingkungan. Demikian dikatakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta kemarin.
Polutan organik yang persisten merupakan sekelompok senyawa kimia beracun dengan sifat sulit terurai dan cenderung berakumulasi baik di darat atau di air. Bahan POPs berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia secara langsung atau melalui rantai makanan.
Hasil penelitian di negara maju, paparan senyawa POPs dalam jangka panjang menyebabkan kanker, merusak sistem susunan saraf, kekebalan tubuh, reproduksi, serta perkembangan bayi dan anak balita. Dalam lingkungan, paparannya mengurangi populasi burung, ikan, dan penipisan sel kulit telur burung pemakan ikan.
Ada 12 jenis bahan kimia POPs dalam tiga kategori, yaitu pestisida: aldrin, DDT, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, dan toxaphene; bahan industri: hexachlorobenzene (HCB) dan polychlorinated biphenyls (PCB); dan bahan terbentuk tak sengaja akibat aktivitas manusia atau industri: dioksin dan furan.
Pertimbangkan serius
Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf menyatakan, dampak positif dan negatif ratifikasi konvensi patut dipertimbangkan. Dilihat dari dampak kesehatan dan lingkungan, bahan-bahan itu jelas berisiko dan berbahaya.
"Raker mendatang, kami harap, dihadiri berbagai departemen, seperti pertanian, ristek, perdagangan, dan perindustrian," kata Sonny. Ia menegaskan perlunya pendataan bahan-bahan pengganti POPs. Menurut Rachmat, beberapa bahan yang dilarang masih ditemukan. "Misalnya PCB dan DDT," katanya.
Di Asia Tenggara, bersama Malaysia dan Brunei, Indonesia belum meratifikasi konvensi itu. Sejak diberlakukan 17 Mei 2004 hingga Januari 2009, 164 negara telah meratifikasi konvensi itu. Direktur Multilateral Departemen Luar Negeri Rezlan Ihzar Jenie menyatakan, tahun 2009 jadi momentum tepat.
"Meratifikasinya akan menguatkan pengaruh dan postur Indonesia dalam isu lingkungan," katanya.
Sumber: http://nasional.kompas.com
Secara politik, ratifikasi menegaskan komitmen memperkuat kerja sama regional dan multilateral pengelolaan polutan organik yang persisten (POPs). Secara ekonomi, ratifikasi meningkatkan keberterimaan dunia akan produk Indonesia karena ramah lingkungan. Demikian dikatakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta kemarin.
Polutan organik yang persisten merupakan sekelompok senyawa kimia beracun dengan sifat sulit terurai dan cenderung berakumulasi baik di darat atau di air. Bahan POPs berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia secara langsung atau melalui rantai makanan.
Hasil penelitian di negara maju, paparan senyawa POPs dalam jangka panjang menyebabkan kanker, merusak sistem susunan saraf, kekebalan tubuh, reproduksi, serta perkembangan bayi dan anak balita. Dalam lingkungan, paparannya mengurangi populasi burung, ikan, dan penipisan sel kulit telur burung pemakan ikan.
Ada 12 jenis bahan kimia POPs dalam tiga kategori, yaitu pestisida: aldrin, DDT, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, dan toxaphene; bahan industri: hexachlorobenzene (HCB) dan polychlorinated biphenyls (PCB); dan bahan terbentuk tak sengaja akibat aktivitas manusia atau industri: dioksin dan furan.
Pertimbangkan serius
Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf menyatakan, dampak positif dan negatif ratifikasi konvensi patut dipertimbangkan. Dilihat dari dampak kesehatan dan lingkungan, bahan-bahan itu jelas berisiko dan berbahaya.
"Raker mendatang, kami harap, dihadiri berbagai departemen, seperti pertanian, ristek, perdagangan, dan perindustrian," kata Sonny. Ia menegaskan perlunya pendataan bahan-bahan pengganti POPs. Menurut Rachmat, beberapa bahan yang dilarang masih ditemukan. "Misalnya PCB dan DDT," katanya.
Di Asia Tenggara, bersama Malaysia dan Brunei, Indonesia belum meratifikasi konvensi itu. Sejak diberlakukan 17 Mei 2004 hingga Januari 2009, 164 negara telah meratifikasi konvensi itu. Direktur Multilateral Departemen Luar Negeri Rezlan Ihzar Jenie menyatakan, tahun 2009 jadi momentum tepat.
"Meratifikasinya akan menguatkan pengaruh dan postur Indonesia dalam isu lingkungan," katanya.
Sumber: http://nasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar