ESENSI PENDIDIKAN NILAI MORAL DAN PKN DI ERA GLOBALISME
(Oleh: Prof.Drs.H.A.Kosasih Djahiri)
Pendahuluan
Tidak seorangpun mampu melepaskan diri dari hakekat kodrati manusia sebagai insan yang dapat dididik dan belajar sepanjang hayat (educated human being), sehingga dinamik berubah sepanjang masa.Pengalaman hidup manusia (life experiences) adalah pengalaman belajar manusia yang dari waktu/kondisi/tempat ke waktu/kondisi/tempat mengembangkan potensi diri dan kehidupan kita baik dalam arus posiitif maupun arus negatif.
Hakekat lain yang tidak bisa dihindari manusia ialah selaku social and political human being, dimana sejak lahir kita hidup “in group” dalam keluarga dan masyarakat yang ahirnya berbangsa – bernegara (Zoon politicon, organized political man). Lembaga-lembaga tadi disamping merupakan wadah/rumah bagi manusia juga merupakan institusi pembina – penegak dan pengembang ipoleksosbudag yang amat potensial. Namun makin kini ketiga lembaga itu makin kurang berfungsi (melonggar) dan bahkan ada kecendrungan dihilangkan.
Bahwa Potensi diri manusia yang Illahiah yang dibawa setiap manusia meliputi potensi badaniah dan rohaniah. Melalui berbagai kajian pakar pendidikan dan psikologis, potensi rohaniah dikatagorikan kedalam tiga potensi dasar yakni Daya Intelektual/Nalarr (dengan 6 potensi ); daya afektual (8 potensi afektual) dan Psikomtorik (8 potensi), sehingga keseluruhannya meliputi 22 potensi.
Dalam Dunia Pendidikan (terutama pendidikan formal) secara kurikuler rumusan sosok keluarannya dinyatakan harus utuh bulat (ragawi dan rohaniah) namun secara programatik – prosedural maupun realita keluarannya (outcomes) bersifat parsial. Totalitas diri anak didik hampir tidak pernah dibelajarkan secara kaffah. Target penyelesaian bahan ajar yang konseptual teoritik – keilmuan/normative atau structural disipliner dan target nilai angka (marking) atau NEM tinggi yang diiringi ketidak tahuan/profesionalan guru melahirkan pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi ragawi dan nilai – moral serta norma hampir tidak pernah masuk hitungan termasuk dalam program khusus MKU (PKN, PAI, dll).
Tidak Profesionalnya guru, disamping pola pembelajaran – pelatihan professional skills yang kurang terutama dikarenakan ketentuan formal dan system seperti a.l. wajib mengajar minimal 19 jampel di satu sekolah, sistim penempatan guru, guru SD adalah guru kelas (baca “Guru 7 mata pelajaran” ! ). Maka oleh karenanya tidaklah mustahil apa yang dikemukakan McLuhan (teori Pendulum) besok lusa akan berwujud, yakni manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya. Potret ini disejumlah tempat sudah mulai nampak.
Proses emoting – minding, spiritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking and rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normative/ luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic – conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional – keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini sudah juga nampak dalam pendidikan informal cq. kehidupan keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah sepenuhnya diserahkan kepada instansi lain cq. Guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan role behavior bakunya (agamis & cultural) dan hanya menjadi “symbol terminal berkumpul dan sumber status social – ekonomi” bagi warganya. Bagi keluarga yang sudah masuk “super developed/ nuclear – family” perkawinan hanya dimaknai sebagai lembaga/media untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social ekonomis saja. Demikian halnya dalam berbangsa dan bernegara, hanya dianggap keharusan otomatik (opinio necesitatic) tanpa diiringi oleh rasa-emosi lain (sense of integrity, patriotism dan proudnes, dll ). Allohuma Nauzubillahi min zaalik !.
Dalam kehidupan masa lampau generasi usia 50/60 th ke atas, apa yang diuraikan di atas boleh dibilang “tabu” dalam pendidikan keluarga, seluruh perangkat tatanan nilai – moral dan norma agama ( dan budaya agama), adat budaya (cultural heritages) dan bahkan nilai moral metafisis dengan segala “pro & contranya” hadir secara utuh menjadi tonggak pokok untuk segala hal serta beruwjud dalam berbagai bentuk (materiil – imateriil, personal, kondisional dan behavioral/ceremonial) . Dunia pendidikan formalpun (Program, buku, guru, pimpinan, system dan kondisional) turut mengukuhkan kehidupan tadi. Buku paket IPS (“Matahari Terbit”) dan seni budaya daerah (Panyungsi Bahasa, Didi – Yoyo; Rusdi Misnem dll) sekaligus membawakan misi dan isi pesan budi luhur (adat dan agama). Sekarang ini, gejolak iptek yang kian ganas melalui multi media elektronik – cetak dengan segala “keindahan – kemewahan dan kemudahannya” yang serba “waah” berikut tuntutan materiilnya yang cukup tinggi, melahirkan kehidupan keluarga yang sarat keinginan dan kesibukan sebagaimana “pola kehidupan (life style) modern” yang pada ahirnya secara perlahan namun pasti membawa kearah rasionalisme, sekulerisme yang materialistic dan egoistic serta mulai menggeser dan mengerosi standard baku yang ada, termasuk didalam kehidupan keluarga kita !
Norma acuan, Dimensi dan System kehidupan manusia
Gambaran hakekat kodrati manusia (Illahiah/Natural dan Sospol) dalam uraian terdahulu, melukiskan hakekat manusia yang serba potensial dan sarat keterbatasan. Dalam kehidupannya sebagai insan social diperkaya dengan seperangkat kodrat social sesuai dengan status dan peran laku harapannya (expected role behavior), Beberapa sifat kodrati insan social ini ialah a.l. selalu berkelompok (group base), kontekstual/ kondisional, bersifat mono multiplex/pluralistic, insan politik yang terorganisir (zoon politicon, organized political man), insan yang terikat dalam sejumlah lingkaran kehidupan (life cycles) yang multi aspek dan multi waktu. John Locke, mengemukakan 5 sifat natural manusia dalam posisinya sebagai organized political man; yakni : suka dihormati, cinta kekuasaan, merasa pintar, ingin selamat dan hidup abadi. Kelima hal ini ditampilkan setiap diri manusia yang normal dalam kehidupannya, dan bila tidak dikendalikan kelima hal tadi akan berwujud menjadi: gila hormat, gila kekuasaan, sok pintar, cari selamat/aman (anti risiko) dan takut mati. (silahkan anda renungi/kaji diri anda sendiri ).
Kedua hakekat kodrati tadi dengan diintervensi oleh tempat – waktu dan kondisi, berinteraksi/berinteradiasi dan menyebabkan proses perkembangan manusia serta melahirkan produk the real thing of man/human being. Proses perkembangan tadi tidak bersifat normless, melainkan terikat dan atau terkendali oleh seperangkat tatanan norma-acuan (norm refrences).
Dalam masyarakat Indonesia ada/berlaku 6 norma acuan pokok yang menuntun/mengendalikan/mengharuskan diri dan kehidupan manusia ialah nroma/syariah agama, budaya agama, budaya adat/tradisi, hukum positif/negara, norma keilmuan, dan norma metafisis (hal ihwal diluar jangkauan kemampuan manusia, alam gaib – kepercayaan).
Keenam acuan normative tadi ada dalam setiap lingkaran dan aspek serta sistem kehidupan manusia. Dan setiap norma melahirkan acuan nilai dan moral. Norma adalah perangkat ketentuan/hukum/ arahan, dia bisa datang dari luar (eksternal) seperti dari Tuhan/Agama, negara/Hukum, masyarakat/adat dan bisa pula (yang terbaik ) datang dari dalam diri atau sanubari/qolbu kita sendiri. Norma yang sudah menjadi bagian dari hati nurani (suara hati = qolbu !) adalah norma dan nilai – moral yang sudah bersatu raga (personalized) dan menjadi keyakinan diri atau prinsip atau dalil diri & kehidupan kita. Nilai ( value = valere) adalah kualifikasi harga atau isi pesan yang dibawakan/tersurat/tersirat dalam norma tsb (a.l. Norma agama memuat nilai/harga haram – halal – dosa – dll) dan melekat pada seluruh instrumental input manusia (hal-hal yng materiil/imateriil, personal/impersonal, kondisional, behavioral).
Sedangkan Moral/Moralita adalah tuntutan sikap – perilaku yang diminta oleh norma dan nilai tadi. Maka karenanya suatu norma dari suatu sumber bisa memuat nilai – moral positif maupun negatif dan jumlahnya amat banyak serta bersifat relatif/subjektif – instrumental yang mungkin pula kontradiktif satu dengan lainnya. Contoh simple misalnya Norma agama “dilarang mencuri” memuat nilai a.l. dosa, haram, neraka, dll; moralita yang dituntut jauhi, hindari, jangan dikerjakan.
Sedangkan yang kami maksudkan Sistem dalam kehidupan ialah apa yang dikemukakan oleh Talcot Parson, dimana menurutnya setiap organisme kehidupan (manusia, binatang, tanaman dll) memiliki 5 system; yakni: sistem nilai (value system), system budaya (cultural system); system social (social system), system personal (personal system) dan system organic (organic system).Maka karenanya Diri Manusia dan Astagatra kehidupan manusia yang bersifat organisme hidup tidak luput dari lima system tadi dan setiap system mengacu kepada 6 norma acuan yang ada/dianut/diyakni orang/masyarakat/kehidupannya.
Dari gambaran tadi jelas bahwa diri dan kehidupan manusia sarat/padat norma – nilai dan moral, tidak ada kehidupan yang “value free” (bebas nilai). Potret diri dan kehidupan di atas bila kita jabarkan secara matematis akan nampak sebagai berikut:
a. Life Cycles manusia = 5 (diri, keluarga, masyarakat, bangsa/negara dan dunia)
b. Aspek kehidupannya = 5 dimensi/aspek (Ipoleksosbudag)
c. Sumber Norma acuannya ada 6.
Dari tiga dimensi ini saja maka perangkat Nilai – Moral – Norma (NMNr) yang mengikat/mengendalikan diri & kehidupan manusia berjumlah (5 x 5) x 6 = 150 buah. 150 NMNr ini masih akan dikaitkan (dikalikan) dengan keberadaan 5 system dalam setiap organisme kehidupan (150 x 5 = 750 ) dan dikaitkan lagi dengan status dan peran laku manusia yang bersifat mono pluralistik yang jumlah n. Yang lebih dahsyat lagi ialah bahwa antara komponen di atas (life cycles, aspek, sumber norma dan system) tidak selamanya rujuk dan sering/banyak bersifat kontras/paradoxal. Potret diri & kehidupan manusia dengan perangkat NMNr yang amat kompleks, sarat paradoxal dan kontekstual inilah yang menuntut kehadiran Pendidikan Nilai Moral, sehinggga manusia tetap value based sebagai insan bermoral (morally mature person atau a healthy person) dan kehidupannya tetap terkendali (conditioned). Dalam diri dan kehidupan yang bermoral (berahllak mulia) seluruh sistemnya ( 5 sistem) selalu mengacu kepada seluruh tatanan NMNr yang berlaku/diyakini diri & kehidupan nya, ybs memiliki pengalaman belajar (learning experiences) dan kemampuan (kompetensi) bagaimana dan kapan mengoptimalisasi dan meminimalisasikan perangkat NMNr tadi secara instrumental/kontekstual dan balance. Insan bermoral (berahlak mulia) disamping memakai kemampuan intelektualnya (intellectual intelligence) juga selalu melakukan proses emoting, spiritualisasi (spiritualizing) dan valuing terhadap seluruh dimensi norm reference yang ada (diyakini ybs dan atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (taking position). Proses ini makin kini makin rendah (dimensi norm referencesnya maupun value basesnya), dan hanya mengutamakan proses analisis – penilaian (evaluating bukan valuing) intelektual – rasional – konseptual saja.
Dimensi norma acuannya cenderung ke keilmuan (umumnya ekonomik saja) dan atau hukum formal. Perhitungan ekonomik “murah – mahal” hanya dihitung rasional sebagai selisih harga dan “legal – illegal” nya juga bersifat rasional “karena secara formal melanggar/memenuhi ketentuan hukum” saja tanpa diiringi suara hati/qolbu (kasihan, penyesalan, rasa salah/dosa dll).
Jelas kiranya, orang yang tidak mengenal perangkat tatanan NMNr dan tidak/ jarang dibelajarkan potensi afektualnya (8 potensi) sulit untuk diminta menjadi manusia bermoral. Visi Pendidikan Nilai – Moral disamping membina, menegakkan dan Mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur (6 sumber Nr) adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahlak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan NMNr membawakan misi:
- Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 system kehidupan yang kait mengkait.
- Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub.a sebagai “moral conduct” diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana ybs berada.
- Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia & kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/ value based); Insan/Masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian.
- Membina dan menegakan “law and Order” serta tatanan kehidupan yang manusiawi – demokratis – taat azas.
- Khusus di negara kita, disamping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang moderen namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualiifikasi UUSPN 2003).
Laju perkembangan iptek yang kian kini kian cepat dan agresif (melalui media cetak elektronik dan produk iptek yang sarat nilai tambah, mudah dan menyenangkan) mulai mereduksi dan mengerosi keberadaan/kelengkapan perangkat sumber norma acuan dan sekaligus pula mengerosi nilai – moralnya. Sumber normative dari Tuhan/Allah (agama), Alam dan budaya/adat serta yang metafisis mulai digeser dan atau diubah oleh sumber karya manusia yakni Ilmu dan Hukum serta teknologi. Iptek dan modernity secara inheren membawakan nilai – moral (karakteristik): added values, easiness, enjoy, rasionalism, sekulerism, materislism, individualism, kompetisi & conflict, spesialisasi, dll. Maka oleh karenanya NMNr kontras – paradoxal kian meningkat dan sering melahirkan “ketimpangan” dan atau kesenjangan keadaan/ kehidupan manusia yang kalau tidak mampu diseimbangkan maka muncul aneka keanehan, stress dan strook. Generation gap, friksi kehidupan rumah tangga dan masyarakat, gaya hidup (life style) yang “aneh”, Hippies dll adalah buah pendidikan parsial yang meninggalkan pendidikan nilai – moral.
Berikut kami angkat beberapa statements para pakar Pendidikan Nilai yang mengungkapkan esensi Diknil:
“Value Education or none at all” (Phlips Comb)
“Value education is the central of human being” (Piaget, Aristoteles, dll)
“Janganlah berfikir sebelum kamu iman, dan jangan berbuat sebelum iman dan berfikir” (Imam Al Gazali).
“My country is the world, and my religion is to do good” (Thomas Paine) Dan sebagai insan religius, kita yakini bahwa dalam rukun iman dan Islam yang diminta adalah percaya akan…
HAKEKAT PENDIDIKAN KEWARGAAN NEGARA (PKN)
PKN atau Civic Education adalah program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik – prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudyakan (civilizing) serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan kehidupannya) menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharusan/ yuridis konstitusional bangsa/negara ybs. Rujukan WNI yang baik dalam NKRI ialah UUD 1945/2003 yang jabarannya termuat dalam TAP MPR dan UU (a.l. UUSPN menjadi kiblat seluruh Program dan Sistem pendidikan ). Menurut landasan konstitusional di atas, maka Visi PKN NKRI lahirnya manusia/ WNI dan kehidupan masyarakat bangsa NKRI religius, cerdas, demokratis dan lawful ness, damai – tenteram – sejahtera, moderen dan berkeribadian Indonesia. Misi yang diembannya adalah program pendidikan; yang membelajarkan dan melatih anak didik secara demokratis – humanistik – fungsional.
Membelajarkan hendaknya dimaknai memberi pembekalan pengetahuan melek politik – hukum, membina jati diri WNI berkepribadian/berbudaya Indonesia, melatih pelakonan diri/kehidupan WNI yang melek politik hukum serta berbudaya Indonesia dalam tatanan kehidupan masyarakat – bangsa – negara yang moderen. Dari gambaran di atas maka jelas target harapan pembelajaran PKN NKRI, yakni:
1. Secara Programatik memuat bahan ajar yang kaffah/utuh (CAP) berupa bekal pengetahuan untuk melek politik & hukum yang ada/berlaku/imperative dalam kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara NKRI yang demokratis sistim perwakilan – konstitusional. Bahan ajar yang kaffah mutlak harus menampilkan politik – hokum NKRI secara factual – teoritiik konseptual dan normative berikut isi pesan (nilai – moral) serta aturan main dan tata cara pelaksanaannya. Dan sebagai bekal pengetahuan tidak mutlak semua hal disampaikan melainkan dipilah dan dipilih berdasarkan tiga criteria dasar yakni: tingkat esensinya, kegunaannya dan kritis tidaknya.
Hakekat isi pesan program PKN yang utama (lihat UUSPN 2003) harus memuat a.l. :
a. Insan dan kehidupan Religius Imtaq dalam semua gatra kehidupan
b. Melek politik – hukum tahu/faham hal ihwal keharusan berkehdiupan berbangsa – bernegara baik secara konstitusional maupun secara praksis/ nyatanya (kemarin – kini dan esok hari) Tatanan dan kehidupan Politik – Hukum dan Masyarakat Indonesia.
c. Insan dan kehidupan Demokratis yang lawfulness dalam NKRI/Pancasila/ berbudaya Indonesia
d. Insan dan kehidupan yang Cerdas, damai dan sejahtera
e. Insan dan kehidupan yang Cinta bangsa negara, Patriotik: cinta dan bela bangsa negara (hak daulat dan martabat bangsa negara)
f. Pergaulan dunia/antar bangsa yang setara dan damai
2. Secara Prosedural target sasaran pembelajarannya ialah penyampaian bahan ajar pilihan – fungsional kearah membina, mengembangkan dan membentuk potensi diri anak didik secara kaffah serta kehidupan siswa & lingkungannya (fisik – non fisik) sebagaimana diharapkan/keharusannya ( 6 sumber normative di Indonesia) serta pelatihan pelakonan pemberdayaan hal tersebut dalam dunia nyata astagatranya secara demokratis, humanis dan fungsional.
Tersirat dalam semua uraian di atas sejumlah hal yang secara konseptual dan praksisnya paradox/tabrakan dengan hakekat globalisme dan modernity. Dan ini berarti tantangan riil yang cukup berat untuk dihadapi para guru PKN, PAI bahasa & Budaya Daerah dan semacamnya. Bila kita menyerah berarti kita mengurbankan hakekat kodrati/Illahiah dan social politik diri siswa dan kehidupan Bangsa Negara kita. Jawaban ada di tangan anda ! Globalisme adalah era iptek yang superdeveloped, modernity adalah Neo Geopolitik yang cyberspace/world wide dan Sekuler.
Iptek melahirkan temuan konsep/dalil dan produk baru yang serba elektronik – massal meninggalkan ketergantungan manusia dan kehidupannya terhadap tenaga manusia, binatang dan alam, serta memperpendek jarak waktu antar space. Banyak hal yang semula bersifat “tidak mungkin atau masa iya” kini ada dan terbuktikan. Bahkan iptek mulai mencoba menundukan alam serta kodrat natural manusia, kesemua hal inilah yang menyebabkan manusia “arogan” dan mendewakan dirinya serta melahirkan dalil “I’m nothing but every things” (aku adalah segala – galanya).
Teknologi industri yang sepenuhnya rational and capital base melahirkan tuntutan kehidupan yang ilmiah – rasional, sekuler, materialistic, capitalism yang kompetitif serta mendorong meningkatnya pola keadaan yang individualistik dan Utilities – beneficial – universal/ global/world wide.
Pola universalism yang kompetitif ini merupakan tuntutan keharusan (opinio necessitatic) teknologi modern yang berproduksi massal. Produksi massal menuntut kapital dan pasar (bahan dan produk) yang meluas dengan tingkat kompitisi kian tajam serta melahirkan sindikat gabungan industri (negara) raksasa yang secara konseptual paradox dengan karakter modernity. Gabungan raksasa industri & negara maju ini dikenal dengan berbagai label, ialah a.l. World Dragons, IGGI, Euro/Nato,AFTA, negara super power, world police dll. Pangsa pasar mereka ialah dunia tanpa batas wilayah (Planetary Territory, Cyber space), wilayah politik kebangsaan (nation) dan bahkan kedaulatan tererosi melalui pola kehidupan sosio politik Demokrasi Modern, Neo Geopolitic,World Peaceful and wealthfare,Multy National Corporation, Transnationalism, Global Capitalism, Planetary Territory dll yang kesemuanya memaksa manusia/bangsa/negara mengglobal sehingga tercipta tatanan norma baru yang dalam internet disebut dengan Normative Globalism yang berpolakan cyber ipoleksosbud dengan super developed technology dalam kehidupan post modernity yang dikendalikan world dragons & super power countries tadi. Suka atau tidak suka, semua orang dan bangsa negara digiring menuju dunia baru itu. Paradigma baru bernegara muncul dalam dalil baru Demokrasi Baru, new democracy yang world wide cq. Western democracy yang liberalis dan kapitalistik dimana kepentingan ekonomi menjadi penjuru dan primadonanya semua hal..
Dalam awal makalah ini kami cantumkan petikan tulisan Alex Carey, dimana dikemukakan ada tiga kekuatan dahsyat yang muncul di era post modernity ini, yakni perkembangan demokrasi beserta kekuatan korporasisnya, laju propoganda kekuatan kubu korporasi demokrasi termasuk proteksi kubu demokrasi melawan kubu yang berbeda prinsip (a.l. traditionalis cultural atau Oriental Despotism, nasionalisme sempit, serta undemocratic democracy lainnya). Maka melalui berbagai dalih dan dalil (terutama dalih terrorism dan obat bius) maka dunia diwilah-wilah dan diciptakan “aneka conflicts” serta terjadilah berbagai “perang” (war), mulai dari perang Panama, Vietnam samapi perang Teluk , Afganistan, Irak dll yang ujung-ujungnya adalah liberalisasi dan demokrasi yang menyelebungi kepentingan ekonomi dan iptek tinggi (bahan baku dan pangsa pasar). Korporasis kubu demokrasi tadi dalam mewujudkan targetnya , yakni Cyber Politics/ Economics and Modernization (system dan life style) menggunakan berbagai cara dan kekuatan terutama kekuatan ekonomi (bantuan dan atau embargo), pembentukan Hukum/Lembaga Internasional (WTO, NATO,Euro dll) serta sindikat kekuangan (IMF,World Bank, IGGI, dll) yang pada puncaknya digelarnya peragaan kekuatan militer iptek mutahir. Semua hal ini “memaksa” masyarakat bangsa berkembang menerima/mengadopsi dan atau memasuki kubu baru mereka. Dan ironisnya karakter iptek – modernisasi ini bila sudah memasuki kehidupan manusia/masyarakat ybs has a beginning but will has no end ! Geo politik lama (wilayah ditentukan oleh kedaulatan/kekuasaan negara) berubah menjadi Neo Geopolitik, dimana “kepentingan politik suatu/sejumlah negara” (yang adalah kepentingan ekonomi bangsa/negara ybs) menjadi kiblat kekuasaan dengan jalan “menghapuskan batas wilayah nasionalisme sempit dan kekuasaan/ kedaulatan territorial lama”. Semua harus membuka diri, untuk itu kembali teknologi berbicara dalam wujud teknologi militer , media cetak – elektronik dan indsutri.
Media cetak elektronik menjadi pendobrak tradional culture and life style. Melalui budaya dan pendidikan (materiil dan sumber serta media pembelajaran) generasi muda (yang umumnya mayoritas populasi bangsa dan dalam kondisi jiwa inovatif – kreatif dan “revolution age”) diciptakan a new and modern generation yang cinta/gila modernity, new democratic style dan world wide. Dalam kehidupan dan generasi inilah keberadaan tatanan norma dengan perangkat nilai – moral luhur goyah, tergeser dan atau tergusur . Rem normative yang menjadi direktiva (moral conduct) diri & kehidupan “blong” dan terciptalah proses erosi dan dehumanisasi, dimana martabat diri dan kodrat dirinya “dijual dan dikurbankan” untuk kenikmatan, kesenangan dan kemudahan serta nilai tambah duniawi semata . Muncullah generasi dan kehidupan masyarakat yang serba rasional, sekuler, materialistik, individualis – utilities dan kontras dengan sejumlah NMNr luhur yang berlaku/ada/baku serta menamakan diri “kehidupan baru yang modern”.
Harapan kita tentu saja manusia, bangsa negara dan kehidupan Indonesia masuk dalam katagori manusia – bangsa – negara modern super canggih, namun harus tetap manusia dan bangsa yang berbudi luhur yang tetap mampu tampil dalam kepribadian Manusia/Bangsa Indonesia. Kita tidak berharap kehadiran manusia/ masyarakat & kehidupan yang modern namun kufur dan dolim terhadap diri sendiri, NMNr luhur serta warisan budaya (cultural heritage) Indonesia.
Bagaimana kita, bangsa Indonesia mampu membinanya? Pertanyaan ini hendaknya menjadi keperdulian semua orang, terutama para orang tua, pemimpin masyarakat dan negara serta tentu saja para pendidik dan guru. Melihat kecen-derungan “pergeseran status dan fungsi peran keluarga” (di kota maupun desa) sekarang ini maka nampaknya semua beban itu akan terpulang dan harus terpikul oleh Guru dan pendidik cq. Sekolah dengan seluruh instrumental inputs nya. Secara institusional, progaramtik curricular dan prosedural pembelajaran harus kaffah dan value base.Ini adalah harga mati untuk terpenuhinya harapan lahirnya Manusia dan Bangsa yang religius , cerdas, dan berahlak mulia yang tentunya harus diiringi system dan mekanisme kerja berbasis profesionalisme dalam dunia pendidikan.
Keterbatasan dan keterpurukan social ekonomi dan politik, hendaknya jangan menjadi excuse penyelewengan dan pelacuran pendidikan. Hendaknya sama-sama kita sadari bahwa dunia dewasa ini makin terbuka, dan sang maha guru Iptek – elektronik – cetak kini kian merajalela membelajarkan dan melatih pengalaman hidup/belajar generasi penerus bangsa negara ini.
Perlombaan (musabaqoh) pembaharuan kurikulum dan buku teks harus diperhitung kan secara lebih serius (bukan hanya mengejar target waktu/tahun/proyek ) dan harus diiringi peningkatan keberadaan dan tegaknya profesionalisme Pendidik , Guru serta pelaksana pendidikan. Sekolah harus kita fungsionalkan menjadi “agent of changes” dan membelajarkan keluarga dan masyarakat, sehingga tercipta proses revitalisasi fungsi peran keluarga/masyarakat. Hari esok bangsa dan negara kita berada pada our next young generations. Maka benarlah dalil Phillip Combs "Value education or none at all !!"
0 komentar:
Posting Komentar