Birokrasi dan Demokratisasi
Sebuah Critical Review Pembangunan Politik
Martin Albrow, Birokrasi, Bab IV Birokrasi dan Teoretisi Demokrasi
oleh Ahkdi Kumaeni
Pendahuluan
Konon gagasan tentang birokrasi lahir dari keprihatian terhadap tempat yang sepatutnya bagi pejabat dalam pemerintahan modern. Menurut Catatan Martin Albrow Secara khusus, kita telah menyaksikan bagaimana pada penulis abad ke-19 mempertentangkan birokrasi dengan demokrasi. Mereka menjelaskan aneka cara yang dengannya manfaat dan kegunaan pejabat negara dianggap merusak nilai-nilai demokrasi. Dengan kata lain, gejala yang diangap menentukan birokrasi dinyatakan sebagai topik yang signifikan bagi analisis-analisis karena hubungannya dengan nilai-nilai demokrasi, dan karena bertentangannya dengan nilai-nilai itu dianggap merupakan masalah-masalah yang memerlukan pecahan. Menjelaskan hakekat penyakit itu. Kemudian sebagai nilai-nilai demokrasi dirumuskan kembali, begitu pula konsep birokrasi disusun kembali.[1]
Analisis model demikian ini Martin menilai bisa didapati pada argumen lama tentang hubungan demokrasi dan birokrasi yang sisa-sisa diubah melalui penyajian yang mencakup dua perangkat masalah: spesifikasi nilai-nilai demokrasi, dan pengumpulan data-data tentang pejabat negara dalam pemerintahan modern.[2]
Setidaknya dapat diangkat dari mereka terdapat dua ciri konsepsi, yakni baik empirik maupun normatif yang harus dijelaskan. Untuk menunjukkan eksitensi birokrasi tersebut tidak cukup hanya dengan cara menunjukkan mode tingkah laku pada pejabat negara. Haruslah ditunjukkan bahwa tingkah laku ini tidak terkait dengan tugas mereka. “Suatu fungsi yang karenanya mereka diangkat”. Tetapi fungsi inilah yang selalu diperselisihkan. Karenanyalah ini merupakan inti pokok perdebatan yang tidak kunjung selesai tentang sifat birokrasi yang sesungguhnya.[3]
Mendiagnosa Birokrasi Sebagai upaya Demokratisasi ala Martin Albrow
Didalam permulaan pembahasan ini, sebenarnya Martin Albrow akan menjelaskan dengan singkat bahwa konsep yang sedang diamatinya secara saksama adalah tentang pejabat-pejabat negara yang menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Akibat penerapannya yang relatif terhadap gejala empirik. Dengan memulai asumsinya kira-kira “apakah tindakan pejabat-pejabat negara dianggap sebagai birokrasi tergantung pada bagaimana nilai-nilai demokrasi itu ditafsirkan dan yang mana diantara penafsiran itu yang dipandang salah. Karena, didalam masing-masing tafsir demokrasi terdapat suatu gagasan yang berkaitan dengan birokrasi”.[4]
Sebagian besar teori konstitusional di abad ke-19 dipersembahkan untuk mengelaborasi pembagian fungsi-fungsi antara orang-orang legislatif, eksekutif dan yudikatif negara demokrasi. Sedikit perhatian diberikan untuk memerinci tempat pejabat negara didalamnya. Posisinya yang semata-mata bersifat pelengkap ini diterima secara luas. Tetapi sebagai administrasi yang makin lama makin besar yang kemudian menjadi inti pemerintahan modern, kriterianya sebagai pelengkap semakin tampak tidak sesuai sebagai alat yang mencirikan sifat administrasi demokrasi. Kriteria yang berbeda seperti akuntabilitas, tanggung jawab, kepekaan atau perwakilan, dipandang merupakan standar-standar yang sesuai untuk mengartikulasikan nilai-nilai demokrasi, yang harus dipedomani para pegawai negara jika mereka tidak mau menjadi birokrasi. Sebab demikian Martin sepertinya hendak mengajak kita (pembaca) untuk melihat bagaimana masing–masing kriteria ini digunakan dalam usaha untuk mendiagdosis dan menyembuhkan masalah birokrasi, dan kita akan melihat bahwa masing-masing tindakan itu melibatkan interpretasi yang berbeda tehadap apa yang mendasar bagi konsep demokrasi.[5]
Diagonasi Birokrasi; Fungsi Pejabat dan Administrasi Demokratik
Martin berupaya membedakan tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat di negara demokrasi yakni:
Pertama, bahwa pejabat menuntut kekuasan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsinya yang semula.
Kedua, bahwa pejabat benar-benar memiliki kekuasaan dan tugas semakin besar dan jabatan harus dijalankan secara bijaksana.
Ketiga, bahwa kekuasan itu diperlukan oleh para pejabat dan yang harus dicari adalah metode-metode yang dengannya pelayanan mereka dapat disalurkan bersama-sama.
Dari posisi tersebut, yang ketiga jelas paling radikal tetapi jelas juga kurang terartikulasi; yang kedua paling ortodoks, dan yang pertama lebih dekat dengan keperihatinan abad ke-19. Ia merupakan yang paling dekat dan populer di hadapan kaum yuris (para ahli hukum)..
Dalam konteks iinilah Martin berupaya memberi penekanan yang berbeda pada fungsi-fungsi pejabat negara yang mencakup interpretasi yang berbeda tentang apa yang dipahami oleh admistrasi yang demokratik dan begitu juga mencakup perspektif yang berbeda terhadap masalah birokrasi. Dengan meminjan konsep dari Herman Finer[6] tentang kriteria tanggung jawab menurut akuntabilitas metode diganti dengan keprihatinan terhadap kepekaan pejabat pada kebutuhan-kebutuhan umum. Cara lain untuk mengemukakan ini, melalui pertimbangan terhadap penekanan yang berbeda pada konsep demokrasi yang dicakupnya. Mereka yang menganggap pejabat dikhawatirkan terlalu diperluas tentang berkaitan dengan gagasan kekuasaan berdasarkan hukum dan pengawasan pemerintahan oleh wakil yang dipilih. Mereka yang percaya bahwa fungsi-fungsi dalam pembuatan kebijakan kurang dapat diterima, lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan pemerintahan yang mengekspresikan keinginan dasar rakyat dan gagasan tentang arus informasi yang bebas antara yang memerintah dan yang diperintah. Menurut pendirian ini masalah birokrasi timbul manakala pejabat gagal memahami atau mengangapi kebutuhan umum. Hal ini dapat terjadi bahkan ketika prosedur kontrol formal ditutup secara rapat sekali.[7]
Setidaknya para penentang penekanan pada kontrol formal di dalam administrasi negara, mempertahankan bahwa jika kontrol formal itu diperlukan bagi individu agar memiliki otonomi personal dan kebebasan dalam mengambil keputusan dan perilaku bagi masyarakat agar individu memiliki keterikatan yang mendalam terhadap nilai-nilai demokrasi, karenanya, maka tanpa kecuali syarat-syarat itu diperlukan bagi pejabat negara dan pegawai negeri.[8]
Pada titik inilah didapati kesimpulan oleh Martin bahwa komitmen pejabat terhadap nilai-nilai demokrasi adalah suatu benteng pengaman yang lebih penting bagi demokrasi dari pada sistem kontrol. Metode-metode mancapai hasil ini mencakup suatu penekanan yang keras pada kompetensi profesional dan suatu kebijakan rekrutmen yang memliki orang-orang yang berkaliber baik serta menjamin bahwa latar belakan sosial mereka adalah begitu rupa sehingga mereka disenangi oleh semua golongan masyarakat.(perlu ditekankan bahwa kebanyakan sistem sosial menilai dua aspek rekrutmen ini tidak cocok). Profesionalisme dan pewakilan diharapkan menambah kepercayaan politik,dan sebagai akibatnya adalah menurunnya permintaan kontrol formal.tetapi efek yang menggunakan tidak behenti di sini.penurunan kontrol fomal yang berasal dari luar mengakibatkan pengurangan kontrol formal dalam hiearki jabatan. Pejabat merasa kurang terancam sedangkan kepercayaan antar pejabat meningkat. Sebagaimana juga mengutip kesimpulan B.H. Baum bahwa desentralisasi tergantung pada kepercayaan timbal balik. Tetapi desentralialisasi berkaitan dengan kecepatan keputusan. Pada gilirannya hal ini mengurangi friksi dengan umum dan memperkuat keyakinan umum. Lingkaran setan birokrasi telah melemah.[9]
Demikian ini, pejabat negara modern tampak seperti aristokrat paternalistik. tetapi ditegaskan oleh Martin bahwa publik itu bersuara, walaupun pejabat orang yang dipilih, suara siapakah yang didengar, dan dengan tingkat perhatian yang bagaimana. Mengutip pendapat John Stuart Mill melihat adanya konflik tajam antara birokrasi dan demokrasi perwakilan. Ia melihat pada terakhir mempunyai ciri yang jelas memperkuat kemanpuan tindakan politik dan menjamin kekuasaan tindakan terorganisir tersebut didalam masyarakat. Keyakinan pandangan ini ialah bahwa menurut gagasan demokrasi,kekuasam memutuskan tidak diperuntungkan kepada orang sedikit yang mempertahangkan posisi ketiga pada masalah birokrasi yang kita kenali. Itulah dasar tuntutan bagi warga negara, pemerintah kaum baru atau kekuasaan mahasiswa. Ia telah diterima tanpa pejelasan yang sah.[10]
Penutup: Ideologi Barat versus Birokrasi Modern
Martin kemudian mengakhiri catatan bab ini, bahwa perlu diingat pula dari segi perbincangan ideologis, bahwa tema yang sama akan tampak: gambaran munculnya pembahasan radikal tentang struktur pembuatan keputusan dalam suatu negara dan organisasi-organisasi yang mendominasi masyarakat modern.[11] Bahwa terdapat asumsi-asumsi yang tidak teruji dibalik argumen mereka yang menyatakan bahwa asumsi itu merupakan ekspresi ideologi masyarakat Barat yang canggih. Biasanya diasumsikan bahwa disamping semua manusia adalah anggota kelompok kepentingan, hanya sejumlah kecil manusia yang dapat melihat kepentingan semua manusia. Demokrasi yang dianggap merupakan kepentingan bersama ini, hanya sedikit yuang dapat ditampatkan dalam tindakan politik. Menurut Martin hal yang demikian itu pasti benar bahwa aspek tindakan itu akan terus tumbuh, dan pula bahwa pejabat negara akan meningkat jumlahnya, kaliber mereka harus selalu ditingkatkan karena keputusan yang mereka buat menjadi lebih kompleks.[12]
Dengan demikian bagi kalangan radikal, justru pengakuan teoretisi demokrasi Barat tehadap kerangka konseptual yang telah ada ini yang cocok dengan problem birokrasi modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial tergantung pada konsep-konsep bersama dan itupun mungkin dirasakan bahwa ada batas konsensus yang memadai tentang pengertian birokrasi yang populer untuk membenarkan penerimaan konsep ini oleh para ilmuawan sosialisasi. Demikian ini simpulan Martin.[13]
[1] Lihat dalam Martin Albrow, Birokrasi, Bab IV Birokrasi dan Teoretisi Demokrasi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya), hlm. 105.
[2] Ibid, hlm. 106.
[3] Ibid.
[4] Ibid, lihat pada hlm. 108.
[5] Dikutip langsung dari ibid, hlm. 109.
[6] Herman Finer
[7] Lihat, ibid, hlm. 111-112
[8] Ibid, hlm. 117.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 119
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar